πππ₯πππ πππ§π’πππ: π¦ππ§π¨ ππ ππ‘ πππ‘πππ‘ ππ¨π π£ππ‘ππππ¨ππ‘ ππ ππ‘
Oleh : π·. πΎππππππ π·. πΊππππ
πππ
Jika kita perhatikan dalam buku doa (Puji Syukur maupun Tata Perayaan Ekaristi), terdapat dua pengakuan iman: Syahadat Para Rasul dan Syahadat Nicea-Konstantinopel. Mengapa ada dua kredo?
Kata “kredo” berasal dari bahasa Latin “credo” yang artinya “aku percaya”. Tujuan kredo adalah mengungkapkan intisari iman secara ringkas. Kredo disusun berdasarkan kepercayaan pokok akan Tritunggal Mahakudus dan “karya” masing-masing dari ketiga Pribadi Allah: Bapa dan penciptaan; Putra dan penebusan; Roh Kudus dan pengudusan. Dengan demikian, kredo juga mencakup sejarah karya keselamatan: diprakarsai oleh Bapa, sejarah karya keselamatan berpuncak pada Yesus, dan melalui karya Roh Kudus, misi penebusan dan Misteri Paskah Tuhan kita dilangsungkan sepanjang sejarah Gereja.
Tentu saja, Syahadat Para Rasul bersumber pada ajaran para rasul. Menurut tradisi kuno, pada hari Pentakosta, para rasul menyusun pengakuan iman ini di bawah bimbingan Roh Kudus. Masing-masing dari keduabelas rasul menuliskan satu dari keduabelas pasal iman yang diungkapkan dalam syahadat. (Patut diingat bahwa St Matias telah dipilih menggantikan Yudas yang mengkhianati Tuhan kita dan mati bunuh diri.) St Ambrosius (wafat 397) dan Rufinus, keduanya mendukung kebenaran tradisi ini, teristimewa dalam khotbah-khotbah mereka. Tak dapat dipastikan apakah para rasul sendiri yang sesungguhnya menuliskan syahadat awal ini; namun demikian, keyakinan yang diungkapkan dalam syahadat sungguh berakar dari pengajaran mereka. Yang juga menarik, Katekismus Gereja Katolik mempergunakan keduabelas pasal Syahadat Para Rasul ini sebagai acuan dalam menguraikan iman pada Bagian I, “Pengakuan Iman.”
Pokok-pokok kredo tersebut didapati dalam pengakuan iman yang diucapkan oleh calon baptis pada saat Pembaptisan pada masa awal Gereja. Calon baptis akan menjawab tiga pertanyaan, yang dikelompokkan menurut Pribadi Trinitas. Suatu contoh mengenai pengakuan iman pada saat pembaptisan ini didapati dalam “Tradisi Apostolik” St Hippolitus (wafat 235) yang ditulis sekitar tahun 215. Hingga sekarang, dalam “Upacara Baptis Kanak-kanak” maupun “Upacara Inisiasi Dewasa,” calon baptis (atau dalam hal baptis bayi, orangtua dan wali baptis) menyatakan pengakuan iman dengan menjawab ketiga pertanyaan mengenai Tritunggal Mahakudus: “Percayakah Saudara akan Allah, Bapa yang Mahakuasa, pencipta langit dan bumi? Percayakah Saudara akan Yesus Kristus, PutraNya yang tunggal, Tuhan kita, yang dilahirkan oleh Perawan Maria, yang menderita sengsara, wafat dan dimakamkan, yang bangkit dari alam maut dan duduk di sisi kanan Bapa? Percayakah Saudara akan Roh Kudus, Gereja Katolik yang kudus, persekutuan para kudus, pengampunan dosa, kebangkitan badan dan kehidupan kekal?”
Di lain pihak, Syahadat Nicea dihasilkan oleh Konsili Nicea I (325), yang dipanggil guna menghadapi bidaah Arius, yang pada dasarnya menyangkal keallahan Kristus. Di sini, konsili hendak mengajarkan dengan sangat jelas bahwa Yesus Kristus adalah “sehakikat” dengan Bapa, dengan kodrat ilahi yang sama; bahwa Ia dilahirkan, bukan dijadikan; dan bahwa Perawan Maria mengandung dari kuasa Roh Kudus, dan melalui dia, Yesus Kristus, sungguh Allah, juga menjadi sungguh manusia. Teks asli Syahadat Nicea berakhir dengan kata-kata, “dan dalam Roh Kudus”. Tak dapat disangkal bahwa dasar dari Syahadat Nicea adalah Syahadat Para Rasul dan pengakuan iman yang dilakukan pada saat pembaptisan.
Di kemudian hari, dalam Konsili Konstantinopel (381), lagi, Gereja tidak hanya mempertegas kutukannya terhadap Arianisme, melainkan juga mengutuk Pneumatomachs (yakni “para pembunuh Roh”). Oleh sebab itu, kredo diperluas guna menjabarkan secara jelas keallahan Roh Kudus. Sesungguhnya, konsili menyadur kredo yang ditulis pada tahun 374 oleh St Epiphanius dari Salamis. Syahadat ini, yang secara resmi berjudul, Simbol Nicea-Konstantinopel (Nicene-Constantinopolitan Symbol), diperkenalkan ke dalam perayaan Misa sekitar tahun 500.
Sementara jawab atas pertanyaan di atas menunjukkan bagaimana iman diungkapkan, pertama-tama dalam Syahadat Para Rasul, dan kemudian bahkan secara lebih jelas lagi dalam Syahadat Nicea, namun hal yang terpenting adalah bahwa iman dipelihara, dijaga serta diwariskan kepada generasi selanjutnya. Pada masa penganiayaan (sebelum 313), kredo pada umumnya tidak dituliskan - melainkan merupakan bagian dari disciplina arcana, artinya pengakuan iman dihafalkan dan diwariskan secara verbal guna melindunginya dari serangan kafir. Demikian pula, dalam masa penganiayaan ini, kita pun juga patut hafal pengakuan iman kita di luar kepala, memahami dengan baik iman yang kita akui di dalamnya dan selanjutnya mewariskan iman kita itu kepada generasi selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung diblog kita